Pedang Yang Menyimpan Kenangan Terakhir
Pedang yang Menyimpan Kenangan Terakhir
Di tengah gemuruh pasukan yang beradu pedang dan teriakan kesakitan yang memilukan, tumbuhlah sebuah bunga lotus berwarna merah darah. Bunga itu, seanggun wajah Mei Lan, sang Putri yang kini hanya tinggal nama. Dulu, ia adalah mutiara Kekaisaran, dipuja karena kecantikan dan kecerdasannya. Sekarang, ia hanyalah bayangan dari masa lalu, seorang wanita yang hatinya telah hancur berkeping-keping oleh cinta dan kekuasaan.
Lima tahun lalu, Mei Lan memberikan hatinya pada Pangeran Kedua, Li Wei. Cinta mereka laksana mentari pagi, hangat dan menjanjikan. Namun, Li Wei menginginkan takhta, dan Mei Lan, dengan naïfnya, percaya bahwa cintanya cukup untuk mengubah ambisi gelap sang pangeran. Ia salah. Li Wei mengkhianatinya, bersekongkol dengan Perdana Menteri yang haus kekuasaan, menjebak ayahnya, Kaisar yang bijaksana, hingga wafat dalam pengasingan. Mei Lan kehilangan segalanya: cinta, keluarga, kehormatan. Ia diasingkan ke barak prajurit di perbatasan, sebuah hukuman yang lebih kejam dari kematian.
Di sana, di tengah kerasnya kehidupan prajurit, Mei Lan berubah. Ia belajar memegang pedang, bukan untuk membela cinta, melainkan untuk membela diri. Ia belajar membalas pukulan, bukan dengan air mata, melainkan dengan ketenangan yang mematikan. Ia melatih tubuh dan pikirannya, menempa dirinya menjadi senjata yang tajam, sebuah pedang yang menyimpan kenangan terakhir – kenangan akan pengkhianatan dan KEHANCURAN!
Lima tahun berlalu. Mei Lan kembali ke ibu kota, bukan sebagai putri yang memohon belas kasihan, melainkan sebagai seorang jenderal yang disegani, dengan ribuan pasukan setia di belakangnya. Wajahnya masih menyimpan keindahan yang dulu mempesona Li Wei, namun kini terukir dengan garis-garis ketegasan dan mata yang setajam elang.
Li Wei, yang kini menjadi Kaisar yang lalim dan korup, menyambutnya dengan senyum sinis. "Mei Lan, kau kembali? Untuk memohon ampun?"
Mei Lan tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Tidak, Yang Mulia. Saya kembali untuk menagih utang."
Pertempuran pun terjadi. Bukan pertempuran fisik semata, melainkan juga pertempuran pikiran dan strategi. Mei Lan tidak membabi buta. Ia mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Li Wei dan Perdana Menteri, membukanya di hadapan rakyat. Ia tidak menggunakan amarah, melainkan logika dan fakta. Rakyat yang selama ini menderita di bawah pemerintahan Li Wei, akhirnya berbalik mendukungnya.
Akhir dari Li Wei sangat tragis. Ia kehilangan segalanya, sama seperti Mei Lan dulu. Ia memohon ampun, namun Mei Lan hanya menatapnya dengan tatapan dingin. Pedang di tangannya bergetar, bukan karena amarah, melainkan karena kenangan.
Perdana Menteri, yang licik dan keji, mencoba melarikan diri. Namun, Mei Lan lebih cepat. Dengan satu gerakan, pedangnya menebas leher sang pengkhianat. Keadilan telah ditegakkan.
Mei Lan berdiri di puncak istana, memandang kota yang kini menantikan kepemimpinannya. Ia tidak menginginkan takhta. Kekuasaan tidak lagi menarik baginya. Ia hanya menginginkan kedamaian.
Lalu, ia mengucapkan kalimat yang akan dikenang selamanya: "Kini, aku akan memerintah, bukan sebagai Kaisar, melainkan sebagai penjaga bagi kenangan mereka yang telah dikhianati."
You Might Also Like: Cinta Yang Kutulis Dengan Tinta Air Mata