Drama Abiss! Cinta Yang Menjadi Pengkhianatan
Kabut menggantung seperti selubung kelabu di puncak Gunung Tai. Lorong-lorong Istana Timur, yang biasanya riuh dengan tawa dayang dan gemerincing pedang pengawal, terasa sunyi dan dingin, seolah ikut berduka atas kepergian Pangeran Lian, yang sepuluh tahun lalu dikabarkan tewas dalam pertempuran di perbatasan utara.
Xi Mei, janda Pangeran Lian, berdiri di depan kolam teratai yang membeku. Gaun sutra putihnya berkibar pelan, kontras dengan rambut hitam legamnya yang tergerai. Sepuluh tahun telah berlalu, namun wajahnya tetap cantik dan anggun, hanya ada garis halus kekhawatiran yang mengukir di sudut matanya.
"Angin malam semakin menusuk," suara bariton lembut memecah keheningan. Xi Mei berbalik. Sosok itu berdiri di ambang pintu, diterangi rembulan pucat. Pangeran Lian? Mustahil. Namun, mata setajam elang itu, senyum tipis yang menyiratkan misteri, tak mungkin salah.
"Lian...? Apakah... benar itu kau?" bisik Xi Mei, suaranya bergetar.
Pangeran Lian, atau sosok yang mengaku sebagai dirinya, mendekat. "Xi Mei-ku...kau tidak menyambutku setelah sepuluh tahun lamanya?" Suaranya bagaikan beludru, namun ada nada tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang terasa... asing.
Xi Mei menatapnya lekat. "Kau menghilang tanpa jejak. Semua orang mengira kau mati. Apa yang terjadi? Kenapa kau baru kembali sekarang?"
"Perang adalah tempat yang kejam, Sayangku. Aku terpaksa bersembunyi, menyusun kekuatan...mencari kebenaran," jawab Pangeran Lian, matanya berkilat.
"Kebenaran? Kebenaran apa?" tanya Xi Mei, hatinya mulai berdebar kencang.
Pangeran Lian berhenti tepat di depannya, napasnya terasa dingin di pipi Xi Mei. "Kebenaran tentang siapa yang menginginkan aku mati. Kebenaran tentang siapa yang menikmati kesedihanmu."
Xi Mei terdiam. Dulu, ia hanya seorang putri kecil yang dipaksa menikah dengan Pangeran Lian. Ia tidak mencintainya, namun menghormatinya. Setelah kepergiannya, ia perlahan membangun kekuatannya, menjadi penasihat Kaisar yang berpengaruh.
"Kau menuduh seseorang?" tanya Xi Mei, berusaha menyembunyikan kecemasannya.
"Aku tidak menuduh. Aku tahu," jawab Pangeran Lian, senyumnya semakin lebar, namun matanya sedingin es. "Kau pikir aku tidak tahu tentang surat-surat rahasiamu? Kau pikir aku tidak tahu tentang rencana untuk menggulingkan kekaisaran?"
Xi Mei terkejut. Bagaimana mungkin...?
"Aku selalu tahu, Xi Mei. Aku tahu kau tidak pernah mencintaiku. Kau hanya menginginkan kekuasaan. Dan untuk mendapatkan itu, kau harus menyingkirkanku," Pangeran Lian berkata, suaranya kini berubah menjadi desisan mematikan.
"Tidak! Itu... tidak benar!" elak Xi Mei, namun ia tahu kebenaran telah terbongkar.
Pangeran Lian tertawa, tawa hampa yang menggema di lorong istana yang sepi. "Oh, Sayangku. Siapa yang akan percaya padamu? Aku adalah pahlawan yang kembali dari kematian. Kau adalah janda yang berduka, korban yang setia. Tapi di balik semua itu, kaulah dalang sebenarnya. Kaulah yang merencanakan semuanya... sejak awal."
Xi Mei terhuyung mundur, menatap sosok yang dulu ia kenal sebagai suaminya, kini menjelma menjadi monster yang mengerikan. Ia salah. Ia telah meremehkan pria ini. Ia telah memainkan peran yang sempurna, membiarkan dirinya terlihat sebagai korban, sementara ia merajut jaring-jaring pengkhianatan di sekelilingnya.
Pangeran Lian mendekat, meraih dagu Xi Mei dengan kasar. "Selamat, Xi Mei. Kau hampir berhasil. Tapi sayangnya bagimu, aku yang menang."
Mata Xi Mei memancarkan ketakutan. Ia menatap Pangeran Lian, atau siapa pun sosok itu sebenarnya, dengan ngeri. Ia telah kehilangan segalanya. Kekuasaan, martabat, dan bahkan nyawanya sendiri.
"Aku... aku..."
"Kau apa, Xi Mei? Kau ingin mengakui semua kejahatanmu?" Pangeran Lian menyeringai. "Terlambat."
Diiringi suara angin malam yang menderu dan kabut yang semakin tebal, Pangeran Lian melepaskan cengkeramannya. Xi Mei terhuyung ke belakang, jatuh ke dalam kolam teratai yang membeku. Air dingin membungkam jeritannya.
Pangeran Lian menatap jasad Xi Mei yang mengambang di permukaan air. Senyumnya menghilang, digantikan ekspresi kosong. Kemudian, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan jejak kaki di atas salju yang baru turun.
Di tengah kesunyian lorong istana, satu pertanyaan menggantung di udara, tak terjawab selamanya: Siapakah yang benar-benar mengkhianati siapa?
You Might Also Like: Skincare Lokal Dengan Bahan Premium