Dracin Seru: Janji Yang Tertulis Di Atas Luka
Kabut lembut menyelimuti Danau Bintang, seperti kerudung rahasia yang enggan tersibak. Di sana, di antara bayangan pepohonan willow yang meratap, aku melihatnya. Lǐ Wèi, dengan jubah sutra berwarna rembulan, berdiri membelakangiku. Rambutnya terurai, menari mengikuti bisikan angin yang membawa aroma melati dan kesedihan.
Dia adalah lukisan yang hidup, mimpi yang menjelma nyata, ataukah hanya ilusi yang diciptakan oleh hatiku yang sunyi?
Setiap malam, aku menemuinya di tepi danau ini. Percakapan kami adalah simfoni lirih yang hanya bisa didengar oleh bintang-bintang. Kisah cintanya dengan seorang putri dari dinasti yang telah lama sirna terukir dalam setiap tatapannya. Cintanya adalah sungai yang mengalir abadi, meski takdir merobeknya menjadi kepingan kenangan yang menyakitkan.
Kami berbagi rahasia, tawa, dan air mata yang terasa seperti hujan kristal di musim semi. Namun, ada satu hal yang tak pernah dia ungkapkan: Mengapa dia hadir di duniaku? Mengapa dia terjebak di antara mimpi dan kenyataan?
Suatu malam, bulan purnama menampakkan diri di balik awan. Cahayanya menimpa Lǐ Wèi, memperlihatkan bekas luka bakar yang menggerogoti pergelangan tangannya. Bekas luka itu membentuk aksara-aksara kuno yang terasa familiar, seperti melodi yang lama ku lupakan.
Tiba-tiba, sebuah penglihatan menghantamku. Aku melihat diriku di masa lalu, seorang alkemis muda yang mencoba membangkitkan orang mati. Aku berhasil, tapi dengan harga yang mengerikan. Aku mengikat jiwaku dengan jiwanya, menciptakan sumpah abadi yang akan mengikat kami berdua selama ribuan tahun. Lǐ Wèi bukan kekasih, bukan pula teman. Dia adalah konsekuensi dari kesombonganku.
Aksara di pergelangan tangannya adalah janji yang tertulis di atas luka, janji yang tak bisa kubatalkan.
Malam itu, Lǐ Wèi menoleh. Matanya yang penuh kesedihan menatapku dalam diam. "Akhirnya kau ingat," bisiknya, suaranya seperti pecahan kaca.
Kebahagiaan sesaat karena misteri terpecahkan lenyap ditelan kepedihan yang tak terperi. Aku telah menghukumnya, mengikatnya dalam lingkaran abadi rasa sakit dan nostalgia. Cintaku padanya adalah kutukan, bukan anugerah.
Air mata membasahi pipiku, mencairkan kerudung kabut di sekelilingku. Lǐ Wèi memudar, menjadi bayangan, lalu menghilang sama sekali. Danau Bintang kembali sepi, hanya menyisakan kenangan pahit dan penyesalan yang tak berkesudahan.
"Apakah kau akan tetap mencintaiku, meski aku adalah kutukanmu?"
(Dan gema itu terus berlanjut...)
You Might Also Like: Rahasia Skincare Lokal Untuk Kulit Pria