Pedang Yang Menyatu Dengan Darahku
Pedang yang Menyatu dengan Darahku
Malam itu panjang, SANGAT panjang. Bulan pucat menggantung di langit bagai mata yang mengawasi, sementara salju menutupi segalanya dengan lapisan putih dingin, ternoda di beberapa tempat oleh percikan merah yang memekik. Di kuil usang yang terpencil, aroma dupa bercampur dengan bau amis darah, menciptakan atmosfer berat yang mencekik.
Li Hua, dengan jubah merah menyala yang kontras dengan salju, berdiri tegak di tengah kuil. Matanya, sedalam sumur tanpa dasar, tertuju pada sosok yang berlutut di hadapannya. Pria itu, Zhang Wei, mantan kekasih sekaligus musuh bebuyutannya, menunduk dalam diam.
"Dua puluh tahun, Zhang Wei," desis Li Hua, suaranya bagai desiran angin dingin yang menusuk tulang. "Dua puluh tahun aku menunggu malam ini. Malam di mana rahasia yang kau sembunyikan akhirnya terkuak."
Zhang Wei mendongak. Wajahnya yang dulu tampan kini dihiasi guratan kesedihan dan penyesalan. "Li Hua… aku…"
"Jangan sebut namaku!" bentak Li Hua, suaranya bergetar antara amarah dan kesedihan. Air mata membayang di pelupuk matanya, berkilauan di antara asap dupa yang berputar-putar. "Kau menghancurkan segalanya. SEMUANYA! Cinta, kepercayaan, keluarga… kau merebutnya dariku, Zhang Wei. Kau merebutnya dengan kebohonganmu!"
Kilas balik memenuhi benak Li Hua: taman bunga persik yang bermekaran, tawa renyah di bawah langit biru, janji abadi yang diucapkan di bawah pohon tua. Janji yang kini hanyalah abu, berserakan di antara reruntuhan hatinya.
"Pedang ini," Li Hua mengangkat pedang di tangannya. Bilahnya berkilauan mematikan di bawah cahaya bulan. "Ditempa dari darah keluargaku, darah yang kau tumpahkan. Setiap tetesnya memanggil namamu, menuntut balas."
Zhang Wei tidak melawan. Dia memejamkan mata, seolah pasrah pada takdir yang telah lama ditunggunya. "Aku tahu, Li Hua. Aku pantas menerimanya."
Li Hua mendekat, langkahnya mantap dan penuh tekad. Di matanya, tidak ada lagi keraguan. Hanya dinginnya baja dan nyala api dendam yang membara. Pedangnya terangkat tinggi, siap menebas.
"Kau pernah berjanji akan melindungiku, Zhang Wei," bisik Li Hua, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi kau memilih untuk mengkhianatiku. Sekarang, bersiaplah menghadapi balas dendam dari hati yang terlalu lama menunggu."
Pedang itu menebas. Bukan dengan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan ketenangan yang mengerikan. Sebuah ketenangan yang lebih menakutkan daripada badai terhebat sekalipun.
Di salju yang putih bersih, setangkai bunga teratai merah bermekaran dengan indahnya.
Namun, bisikan di angin malam membawa satu pertanyaan: apakah balas dendam benar-benar membawa kedamaian, atau justru awal dari mimpi buruk yang lebih mengerikan?
You Might Also Like: Distributor Kosmetik Jualan Online